Rabu, 12 Maret 2014

Abu

Duduk termenung menikmati keindahan pagi. Ditemani sebuah teko dengan roti-roti manis berjejeran, indah sekali. Menanti sinar mentari tersenyum bahagia saling sapa di tempat itu. Suara kicauan burung yang menambah kehangatan dengan embun berseri-seri. 

Impian yang sangat nyata di hadapan kedua bola mata ini. Rasa yang menawan menusuk dengan lembutnya akan rindu yang mendentum-dentum. Kebiasaan itu yang seharusnya akan terbawa jiwa-jiwa kuat menuju semesta illahi.

Perasaan yang sangat lain dari yang lain. Firasat yang membuka mata batin menuju kenyataan hidup. Ku melupakan sesuatu hal. Begitu tak pentingnya perasaan ini. Ego yang mulai memunculkan rupanya. Tapi, pagi itu terlihat nyata. Ego ini mengalah.

Suatu hari, ku buka jendela yang sedikit rapuh dengan warna coklat bercak-bercak hitam. Jendela itu terlihat memintaku untuk tidak kusentuh. Namun, hanya ego ini yang bisa mengalahkan keramahan pembicaraan itu. Ego ini muncul kembali. Ku melihat keluar.
Tak disangka abu sedang bertebaran di udara pagi yang paling dinanti-nanti menyapaku. Merusak pagi yang ingin ku ajak beromantis ria. Menyakiti jiwa yang lemah tak ingin melemah. Jiwa penuh sukma yang berbunga-bunga. Rasa sakit yang terus menggerogoti perasaan bahagia dari dalam. Dimanakah hati? Semoga tak mati oleh abu yang menyayati.

Dimana gelegar kasih itu? Apa yang terjadi? Oh, ku hanya manusia bodoh terus bertanya tak ingin berfikir. Langsung saja, mengambil sebuah payung penuh warna sekadar mencari kasih yang hilang itu. Penuh semu, semoga baik-baik saja, semoga tak hilang tergilas lembutnya abu yang begitu menyayat rasa bahagia. 

Membuat kedua bola mata ini tak tahan menitihkan air mata. Kenyataan yang pahit itu datang. Begitu hebat abu yang lembut itu. Berdiri diam di kesunyian diantara hembusan abu. Tak terelakan, mengapa ini bisa terjadi? Sangat tak terbayangkan. 

Dan ternyata hal yang kukira sesuatu hal yang tak penting ternyata telah melebihi senyuman batin pucat yang mencuat-cuat. Heran sekali, seharusnya kau, abu, tak sampai di tempat ini. Kau begitu jauh menjelajahi alam ini. Tersirat, embun yang berbisik dalam kalbu. Hei! Angin lah yang menemani abu sehingga dia bisa menyusuri alam ini sangat jauh. Jadilah seperti angin. Terimakasih ku ucapkan untuk embun.

Mungkin ku terlalu mementingkan diri sendiri. Ku terlalu sibuk mengatur perasaan. Perasaan yang memimpikan menjadi seperti angin. Tak terlihat, begitu menawan, berani, dan hanya rasa ikhlas yang menyelimuti. Terlalu dalam memahami apa arti kepercayaan, percaya akan keindahan pagi dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Hingga lupa akan harapan yang telah tergenggam pun ku jua. Terlalu lama menyusuri lorong waktu. Hingga ku lupa bahwa nuansa pagiku tersakiti oleh ketidakpastian.

Apa yang terlintas dalam batin ini, sangat ku hargai. Membersihkan abu adalah cara yang terbaik. Dari tempat yang ku pijak ini. Aku tak rela kau menghantam suasana pagi yang seharusnya menawan sepanjang masa.

Abu itu ku anggap sesuatu yang telah menghancurkanku, bisik embun, dalam sukma ini. Mungkin angin tidak menyukai caraku seperti ini. Angin terus memunculkan geliatnya. Membuat abu berhembus bersamanya, nan jauh disana, terus bersama.

Ini semua membuat kehidupan menjadi lebih hidup. Mengerti akan makna hidup. Hidup dengan cinta dengan balutan kasih sayang. Ku merasa egois menjadi seperti ini. Tak mengira kenyataan yang menghantam keras. Kepercayaan yang kuanggap kasih tersayang. Telah pudar bersama abu yang berhembus bersama angin.

Kolot sekali rasa ini yang mengira-ngira. Sampai ku lupa bahwa abu itu bukan hanya sekadar abu. Abu yang mengajak tanaman bersemangat tumbuh menuju kehidupan yang lebih indah. Sehingga akan memunculkan bunga yang rupawan. Akan memunculkan embun-embun yang penuh perasaan bahagia. Menemani pagi itu, bersama udara pagi, kicauan burung-burung yang menantiku meminum minuman dari dalam teko itu. Pagi nan cerah akan muncul kembali.

Abu itu yang menyuburkan bumi pertiwi. Walau dia memaksaku menitihkan air mata karena begitu mudahnya masuk di kedua bola mataku, menusuk jiwa lemah ini. Tapi, dia begitu hebat sekali, telah membuat suasana yang ku impikan ini tumbuh kembali, menuju keindahan yang nyata. 

Sayatan abu tak selamanya menghasilkan rasa sakit abadi. Terselip harapan bahwa ku semestinya belajar dari ini semua. Rasa sakit yang memudar saat melihat pemandangan pagi yang indah itu kembali. Menentramkan perasaan ini. Dari abu yang berhembus bersama angin.

14 Februari 2014, bencana itu terjadi.

Tidak ada komentar: