Duduk termenung menikmati keindahan pagi. Ditemani sebuah
teko dengan roti-roti manis berjejeran, indah sekali. Menanti sinar mentari
tersenyum bahagia saling sapa di tempat itu. Suara kicauan burung yang menambah
kehangatan dengan embun berseri-seri.
Impian yang sangat nyata di hadapan kedua bola mata
ini. Rasa yang menawan menusuk dengan lembutnya akan rindu yang mendentum-dentum.
Kebiasaan itu yang seharusnya akan terbawa jiwa-jiwa kuat menuju semesta
illahi.
Perasaan yang sangat lain dari yang lain. Firasat
yang membuka mata batin menuju kenyataan hidup. Ku melupakan sesuatu hal.
Begitu tak pentingnya perasaan ini. Ego yang mulai memunculkan rupanya. Tapi,
pagi itu terlihat nyata. Ego ini mengalah.
Suatu hari, ku buka jendela yang sedikit rapuh
dengan warna coklat bercak-bercak hitam. Jendela itu terlihat memintaku untuk
tidak kusentuh. Namun, hanya ego ini yang bisa mengalahkan keramahan pembicaraan
itu. Ego ini muncul kembali. Ku melihat keluar.
Tak disangka abu sedang bertebaran di udara pagi
yang paling dinanti-nanti menyapaku. Merusak pagi yang ingin ku ajak beromantis
ria. Menyakiti jiwa yang lemah tak ingin melemah. Jiwa penuh sukma yang berbunga-bunga.
Rasa sakit yang terus menggerogoti perasaan bahagia dari dalam. Dimanakah hati?
Semoga tak mati oleh abu yang menyayati.
Dimana gelegar kasih itu? Apa yang terjadi? Oh, ku
hanya manusia bodoh terus bertanya tak ingin berfikir. Langsung saja, mengambil
sebuah payung penuh warna sekadar mencari kasih yang hilang itu. Penuh semu,
semoga baik-baik saja, semoga tak hilang tergilas lembutnya abu yang begitu
menyayat rasa bahagia.
Membuat kedua bola mata ini tak tahan menitihkan air
mata. Kenyataan yang pahit itu datang. Begitu hebat abu yang lembut itu.
Berdiri diam di kesunyian diantara hembusan abu. Tak terelakan, mengapa ini bisa
terjadi? Sangat tak terbayangkan.
Dan ternyata hal yang kukira sesuatu hal yang tak
penting ternyata telah melebihi senyuman batin pucat yang mencuat-cuat. Heran
sekali, seharusnya kau, abu, tak sampai di tempat ini. Kau begitu jauh
menjelajahi alam ini. Tersirat, embun yang berbisik dalam kalbu. Hei! Angin lah
yang menemani abu sehingga dia bisa menyusuri alam ini sangat jauh. Jadilah
seperti angin. Terimakasih ku ucapkan untuk embun.
Mungkin ku terlalu mementingkan diri sendiri. Ku terlalu
sibuk mengatur perasaan. Perasaan yang memimpikan menjadi seperti angin. Tak
terlihat, begitu menawan, berani, dan hanya rasa ikhlas yang menyelimuti.
Terlalu dalam memahami apa arti kepercayaan, percaya akan keindahan pagi dengan
hembusan angin sepoi-sepoi. Hingga lupa akan harapan yang telah tergenggam pun
ku jua. Terlalu lama menyusuri lorong waktu. Hingga ku lupa bahwa nuansa pagiku
tersakiti oleh ketidakpastian.
Apa yang terlintas dalam batin ini, sangat ku
hargai. Membersihkan abu adalah cara yang terbaik. Dari tempat yang ku pijak
ini. Aku tak rela kau menghantam suasana pagi yang seharusnya menawan sepanjang
masa.
Abu itu ku anggap sesuatu yang telah
menghancurkanku, bisik embun, dalam sukma ini. Mungkin angin tidak menyukai
caraku seperti ini. Angin terus memunculkan geliatnya. Membuat abu berhembus
bersamanya, nan jauh disana, terus bersama.
Ini semua membuat kehidupan menjadi lebih hidup.
Mengerti akan makna hidup. Hidup dengan cinta dengan balutan kasih sayang. Ku
merasa egois menjadi seperti ini. Tak mengira kenyataan yang menghantam keras.
Kepercayaan yang kuanggap kasih tersayang. Telah pudar bersama abu yang berhembus
bersama angin.
Kolot sekali rasa ini yang mengira-ngira. Sampai ku lupa
bahwa abu itu bukan hanya sekadar abu. Abu yang mengajak tanaman bersemangat
tumbuh menuju kehidupan yang lebih indah. Sehingga akan memunculkan bunga yang
rupawan. Akan memunculkan embun-embun yang penuh perasaan bahagia. Menemani
pagi itu, bersama udara pagi, kicauan burung-burung yang menantiku meminum
minuman dari dalam teko itu. Pagi nan cerah akan muncul kembali.
Abu itu yang menyuburkan bumi pertiwi. Walau dia
memaksaku menitihkan air mata karena begitu mudahnya masuk di kedua bola
mataku, menusuk jiwa lemah ini. Tapi, dia begitu hebat sekali, telah membuat
suasana yang ku impikan ini tumbuh kembali, menuju keindahan yang nyata.
Sayatan abu tak selamanya menghasilkan rasa sakit
abadi. Terselip harapan bahwa ku semestinya belajar dari ini semua. Rasa sakit
yang memudar saat melihat pemandangan pagi yang indah itu kembali. Menentramkan
perasaan ini. Dari abu yang berhembus bersama angin.
14 Februari 2014, bencana itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar